Senin, 30 Juni 2014

PUASA AMALAN NABI-NABI TERDAHULU ( كما كتب علي الذين من فبلكم لعلكم تتقون)

PUASA AMALAN NABI-NABI TERDAHULU


Firman Allah S.W.T: “ Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan ke atas kamu berpuasa sebagaimana telahdiwajibkan ke atas umat-umat yang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa. “.Sebagaimana keterangan Alquran dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 183, puasa yang diwajibkan kepada umat Islam, sebenarnya juga pernah dilakukan oleh umat-umat sebelumnya.
      Sismono dalam bukunya yang berjudul 'Puasa Pada Umat-umat Dulu dan Sekarang' menyebutkan, puasa sudah dilakukan oleh bangsa dan kaum yang hidup sebelum datangnya Islam. Seperti puasa yang dilakukan oleh bangsa Mesir Kunoi, Yunani Kuno, Romawi Kuno, Zoroaster, Majusi, Yahudi, Nasrani, Cina Kuno, Jepun Kuno, Buddha, Hindu, Manu, Konghucu, dan lainnya. ''Bahkan, nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW juga sudah melaksanakan puasa,'' tulisnya.
Nabi Adam A.S :
Sejarahwan Muslim, Ibnu Katsir, meyakini bahwa ajaran puasa sudah ada sejak zaman Adam dan Hawa. Menurut dia, Adam berpuasa selama tiga hari setiap bulan sepanjang tahun. Ada pula yang mengatakan bahwa Adam berpuasa pada 10 Muharam sebagai rasa syukur karena bertemu dengan istrinya, Hawa, di Arafah. Sementara yang lain berpendapat, Nabi Adam berpuasa sehari semalam pada waktu dia diturunkan dari taman surga oleh Allah.

Ada juga yang mengatakan Adam berpuasa 40 hari 40 malam setiap tahun. Pendapat lainnya mengatakan Adam berpuasa dalam rangka mendoakan putra-putrinya. Selain itu, ada yang menjelaskan, Adam berpuasa pada hari Jumaat untuk mengenang peristiwa penting, yakni dijadikannya dia oleh Allah, hari diturunkannya ke bumi, dan diterimanya tobat Adam oleh Allah.

''Sesungguhnya Allah menjadikan Adam pada hari Jumaat, diturunkan di bumi pada hari Jumaat, dia bertobat kepada Allah atas dosanya memakan buah khuldi pada hari Jumaat dan wafat pun pada hari Jumaat.'' (HR Bukhari).

Walaupun dalam Alquran maupun hadis tidak dijelaskan bagaimana bentuk puasa Adam dan generasi sesudahnya, tetapi ada petunjuk-petunjuk bahwa agama-agama yang dibawa oleh para rasul terdahulu itu adalah agama monotheisme yang mengajarkan kepercayaan pada ke esaan Tuhan (Allah).

Nabi Nuh A.S :
Nabi Nuh yang berpuasa selama tiga hari setiap bulan sepanjang tahun, seperti puasanya Nabi Adam. Nabi Nuh juga memerintahkan kaumnya untuk menyembah Allah dan berpuasa ketika mereka berbulan-bulan hidup terapun apung di dalam perahu besar di tengah samudera luas akibat bencana banjir besar, dan terus bertaubat kepada Allah.

Nabi Ibrahim A.S :
Nabi Ibrahim AS juga terkenal dengan kegemarannya berpuasa, terutama pada saat hendak menerima wahyu dari Allah, yang kemudian dijadikan suhuf Ibrahim itu. Puasa menurut agama Ibrahim dilaksanakan oleh Ismail, putra Ibrahim yang terkenal taat beribadah itu; dan puasa Ibrahim diikuti pula oleh Ishaq (putra Ibrahim dari Sarah).

Nabi Ya'kub A.S :
Nabi Ya'kub terkenal sebagai orang tua dan rasul yang gemar berpuasa, terutama untuk keselamatan putra-putranya.

Nabi Daud A.S :
Perintah puasa yang paling populer hinga sekarang ini adalah puasa Nabi Daud as. Puasa ini tergolong istimewa karena Nabi daud tidak hanya seorang prajurit, tetapi juga raja dan ahli perang terkemuka. Nabi Daud dikenal sebagai nabi yang berhasil mengalahkan musuh yang jauh lebih besar, yaitu Goliath.Pelaksanaan ibadah puasa nabi Daud juga tergolong aneh bila dibandingkan dengan puasa nabi-nabi lainnya. Puasa nabi Daud dilaksanakan sehari puasa, sehari tidak. Bahkan, puasa Nabi Daud ini ternyata berlangsung hingga nabi Sulaiman, putranya dan nabi sesudahnya. Tidak hanya itu saja, pelaksanaan ibadah puasa itu disebutkan dilakukan sejak zaman Nabi Ibrahim as. Seperti diketahui, salah satu mukjizat beliau adalah kebal dari kobaran api ketika dibakar oleh raja Namrudz yang kejam.Sepeninggal Nabi Daud, pelaksanaan puasa tersebut tidak lenyap begitu saja. Bahkan, hingga sekarang ini umat Nabi Muhammad SAW juga banyak yang menjalankan puasa Daud selain puasa Isnin-Khamis.

Nabi Musa A.S :
Perintah melaksanakan puasa bagi umat Nabi Musa merupakan rentetan dari kewajiban puasa yang diwajibkan pada umat Nabi Muhammad SAW, seperti dalam Q.S Al-Baqarah:183.
Puasa yang dijalankan oleh Nabi Musa beserta umatnya jauh lebih berat dari pada puasa nabi Muhammad SAW. Mereka diwajibkan berpuasa selama 40 hari 40 malam. Dalam Kitab Perjanjian Lama, puasa Nabi Musa merupakan cikal bakal puasa bagi umat Nabi Isa karena jenis puasanya juga sama. Bahkan, Nabi Musa berpuasa  di Gunung Sinai ketika mendapatkan perintah ALLAH SWT.
     Masalah puasa nabi Musa ini tercantum dalam Kitab Perjanjian Lama (Keluaran 34: 29): "Musa berada di sana bersama-sama dengan Tuhan 40 hari 40 malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air dan ia menuliskan padaloh itu segala perktaan perjanjian, yakni kesepuluh firman". Hal ini kemudian yang dikenal sebagai 10 Firman Tuhan.
    Setelah melakukan puasa  selama itu, Musa  mengalami perubahan yang sangat dahsyat. dari wajahnya keluar cahaya yang menakjubkan bagi setiap orang yang memandangnya. Hal ini tertulis dalam Perjanjian Lama (Keluaran 34:30). Ketika Musa turun dari Gunung Sinai, ia tidak tahu bahwa kulit mukanya bercahaya karena ia berbicara dengan Allah SWT.
    Ada pula puasa yang dianjurkan pada Musa, yaitu berpantang tidak boleh melakukan sesuatu. Termaktub dalam Perjanjian Lama (keluaran: 34:14) bahwa Musa diharuskan memelihara Hari Raya Roti Tidak Beragi. Dengan ketentuan, selama 7 hari lamanya, Musa tidak boleh makan roti yang beragi. Hal itu ditetapkan dalam Bulan Abid, sebagai peringatan Musa dan kaumnya keluar dari Mesir atas kejaran Raja Fir'aun.
    Jika kita meneliti kitab Perjanjian Lama, antara bahasa orang Yahudi, Aramaik, Arab dan Ethiopia ternyata menggunakan kata yang sama, yaituShaum (menahan nafsu). Kata ini berarti menghentikan aktivitas makan, minum, dan nafsu sekaligus menandai ungkapan penyesalan atas doa yang diperbuatnya. Oleh karena terjadi  penyimpangan ajaran-ajaran yang sudah tidak sesuai dengan Kitab Perjanjian Lama, akhirnya tradisi puasa yang dilakukan oleh orang Yahudi terdahulu sekarang ini sudah jauh berubah.
Sementara Nabi Yusuf berpuasa ketika berada dalam penjara bersama para pesalah lainnya. Kebiasaan berpuasa ini juga beliau terapkan ketika menjadi pembesar Mesir dan menjawat sebagai menteri ekonomi negeri tersebut. ''Kerana aku khuwatir apabila aku kenyang, nanti aku akan melupakan perut fakir miskin.''
Nabi Yunus A.S :  
Nabi Yunus berpuasa dari makan dan minum saat berada dalam perut ikan besar selama beberapa hari, kemudian berbuka puasa setelah dimuntahkan kembali dari dalam perut ikan itu. Untuk berbuka, dikisahkan beliau memakan buah sepsis buah labu yang tumbuh di tepi pantai.

Nabi Ayub A.S :
 Nabi Ayub berpuasa pada waktu dia hidup dalam serba kekurangan dan menderita penyakit selama bertahun-tahun, sampai akhirnya sihat seperti sediakala.
Nabi Syuaib  A.S :
Nabi Syuaib terkenal kesalehannya dan sebagai orang tua yang banyak melakukan puasa dalam rangka bertakwa kepada Allah. 

Saya COPAS DARI : http://alyaqiin10.blogspot.com/2012/07/puasa-amalan-nabi-nabi-terdahulu.html

Sabtu, 28 Juni 2014

تفسير آيات الصيام

تفسير آيات الصيام



قال الله - تعالى -: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ * أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ} [البقرة: 183، 184].

يقول الله - تعالى - مخاطبًا المؤمنين من هذه الأمة، وآمرًا لهم بالصيام، وهو الإمساك عن الطعام والشراب والوقاع بنية خالصة لله - عز وجل - لما فيه من زكاة النفوس وطهارتها، وتنقيتها من الأخلاط الرديئة والأخلاق الرذيلة، وذكر أنه كما أوجبه عليهم، فقد أوجبه على من كان قبلهم، فلهم فيهم أسوة، وليجتهد هؤلاء في أداء هذا الفرض أكمل مما فعله أولئك[1].

وقد علَّل فرضيته ببيان فائدته الكبرى وحكمته العليا، وهي أن يُعدَّ الصائم نفسه لتقوى الله، بترك الشهوات المباحة امتثالاً لأمره - تعالى - واحتسابًا للأجر عنده، ليكونَ المؤمنُ من المتقين لله، الممتثلين لأوامره، المجتنبين لنواهيه ومحارمه[2].

ولما ذكَر أنه فرض عليهم الصيامَ أخبر أنها أيامٌ معدوداتٌ؛ أي: قليلة سهلة، ومن سهولتها أنها في شهر معين يشترك فيه جميع المسلمين، ثم سهَّل تسهيلاً آخرَ، فقال: {فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}، وذلك للمشقة - غالبًا - رخَّص اللهُ لهما في الفطر، ولما كان لا بدَّ من تحصيل العبد لمصلحة الصيام أمَرهما أن يقضياه في أيام أخرَ، إذا زال المرض وانقضى السفر وحصلت الراحة[3].

وقوله تعالى: {فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}؛ أي: المريض والمسافر لا يصومان في حال المرض والسفر؛ لما في ذلك من المشقة عليهما، بل يفطران ويقضيان بعدة ذلك من أيام أخر.

وأما الصحيح المقيم الذي يطيق الصيامَ، فقد كان مخيرًا بين الصيام وبين الإطعام، إن شاء صام، وإن شاء أفطر وأطعم عن كل يوم مسكينًا، فإن أطعم أكثرَ من مسكين عن كل يوم فهو خير له، وإن صام فهو أفضل من الإطعام قاله ابن مسعود وابن عباس، ولهذا قال تعالى: {وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ}[4]­.

وقوله تعالى: {شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ} [البقرة: 185].

يخبر الله - تعالى - أن هذا الشهرَ الذي فُرض عليهم صيامُه هو شهر رمضان، ابتداءُ نزول القرآن الكتاب العظيم، الذي أكرم الله به الأمة المحمدية، فجعله دستورًا لهم ونظامًا يتمسكون به في حياتهم، فيه النورُ والهدى والضياءُ، وهو سبيلُ السعادة لمن أراد أن يسلكَ طريقَها، وفيه الفرقان بين الحق والباطل، والهدى والضلال، والحلال والحرام.

وقد أكد البارئ صيامَ هذا الشهر؛ لأنه شهرٌ تنزلُ فيه الرحمة الإلهية على العباد، وأنه تعالى لا يريد بعباده إلا اليسر والسهولة؛ ولذلك فقد أباح للمريض والمسافر الإفطار في أيام رمضان[5]، وأمرهم بالقضاء ليكملوا عدة شهرهم، كما أمر بذكره وتكبيره عند انقضاء عبادته عند تمام شهر رمضان؛ ولهذا قال تعالى: {يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ}؛أي: إذا قمتم بما أمركم الله به من طاعته، بأداء فرائضه وترك محارمه وحفظ حدوده، فعليكم أن تكونوا من الشاكرين لله بذلك[6].

ثم قال تعالى: {وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ} [البقرة: 186].

سبب النزول:روي أن أعرابيًّا قال: يا رسول الله، أقريبٌ ربُّنا فنناجيه، أم بعيدٌ فنناديه؟ فسكت النبي - صلى الله عليه وسلم - فأنزل الله هذه الآية[7].

التفسير:يبين تعالى أنه قريب يجيب دعوة الداعين، ويقضي حوائج السائلين، وليس بينه وبين أحد من العباد حجاب، فعليهم أن يتوجهوا إليه وحده بالدعاء والتضرع، حنفاءَ مخلصين له الدين[8].
وفي ذكره - تعالى - هذه الآيةَ الباعثةَ على الدعاء بين أحكام الصيام إرشادٌ إلى الاجتهاد في الدعاء عندَ إكمال العدة، بل وعندَ كلِّ فطر.


فضل الدعاء والحث عليه

قد وردت نصوصٌ كثيرة في الحثِّ على الدعاء، وفضله، والترغيب فيه، نذكر منها ما يلي: 
1- قال الله - تعالى -: {وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ} [غافر: 60]، فقد أمر الله-  تعالى - بالدعاء وتكفل بالإجابة.
2- وقال تعالى: {ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ} [الأعراف:55]. والمعنى: ادعوا الله تذللاً وسرًّا بخشوع وخضوع؛ {إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ}؛ أي: لا يحب المعتدين في الدعاء وغيره؛ أي: المتجاوزين للحدِّ في كل الأمور، ومن الاعتداء في الدعاء كونُ العبد يسألُ اللهَ مسائلَ لا تصحُّ له، أو يبالغُ في رفع صوته بالدعاء، وفي "الصحيحين" عن أبي موسى الأشعري قال: رفع الناس أصواتهم بالدعاء، فقال رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: ((أيُّها الناس، أربعوا على أنفسكم، فإنكم لا تدعون أصمَّ ولا غائبًا، إن الذي تدعون سميع قريب))، الحديث.
3- وقال تعالى: {أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ} [النمل: 62]؛ أي: هل يجيب المضطرَّ الذي أقلقته الكروب، وتعسر عليه المطلوب، واضطر للخلاص مما هو فيه إلا الله وحده؟! ومن يكشف السوء – أي: البلاء - والشر والنقمة إلا الله وحده؟!
4- وعن النعمان بن بشير - رضي الله عنهما - عن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال: ((الدعاء هو العبادة))؛ رواه أبو داود والترمذي، وقال: حديث حسن صحيح.
5- وعن عبادة بن الصامت - رضي الله عنه -:أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قال: ((ما على الأرض مسلم يدعو الله بدعوة، إلا آتاه إياها أو صرف عنه من السوء مثلها، ما لم يدع بإثم أو قطيعة رحم))، فقال رجل من القوم: إذًا؛ نُكْثر، قال: ((الله أكثر))؛ رواه الترمذي، وقال: حديث حسن صحيح[9].

ثم قال تعالى: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ} [البقرة: 187].

سبب النزول:روى البخاري عن البراء بن عازب أنه قال: كان أصحاب محمد - صلى الله عليه وسلم - إذا كان الرجل صائمًا، فحضر الإفطار، فنام قبل أن يفطر، لم يأكل ليلته ولا يومه حتى يمسي، وأن قيس بن صرمة الأنصاري كان صائمًا، وكان يعمل بالنخيل في النهار، فلما حضر الإفطارُ، أتى امرأته، فقال لها: أعندك طعام؟ قالت له: ولكن أنطلق فأطلب لك، فكان يومَه يعمل فغلبته عيناه فجاءته امرأته، فلما رأته قالت: خيبةً لك، فلما انتصف النهارُ غشي عليه، فذكر ذلك للنبي - صلى الله عليه وسلم - فنزلت هذه الآية: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُم}[البقرة: 187]ففرحوا بها فرحًا شديدًا فنزلت: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْر} [البقرة: 187][10].

التفسير:يقول تعالى ميسرًا على عباده، ومبيحًا لهم التمتع بالنساء في ليالي رمضان، كما أباح لهم الطعام والشراب: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُم}الآية، والرفث: الجماع ودواعيه، وقد كان ذلك من قبل محرمًا عليهم، ولكنه تعالى أباح لهم الطعام والشراب والشهوة الجنسية من الاستمتاع بالنساء، ليظهر فضله عليهم ورحمته بهم، وقد شبه المرأةَ باللباس الذي يستر البدنَ فهي ستر للرجل وسَكَنٌ له، وهو سترٌ لها؛ قال ابن عباس: "معناه: هن سكن لكن وأنتم سكن لهن"، وأباح معاشرتهن إلى طلوع الفجر، ثم استثنى من عموم إباحة المباشرة مباشرتهن وقت الاعتكاف؛ لأنه وقت تبتل وانقطاع للعبادة، ثم ختم تعالى هذه الآيات الكريمة بالتحذير من مخالفة أوامره، وارتكاب المحرمات والمعاصي، التي هي حدودٌ له، وقد بيَّنها لعباده حتى يجتنبوها، ويلتزموا بالتمسك بشريعة الله، ليكونوا من المتقين،[11].



ما يستفاد من آيات الصيام

1- وجوب صيام شهر رمضان على الأمة الإسلامية.
2- وجوب تقوى الله - تعالى - بامتثال أوامره واجتناب نواهيه.
3- إباحة الفطر في رمضان للمريض والمسافر.
4- وجوب القضاء عليهما بعدة ما أفطرا من أيام أخر.
5- في قوله تعالى: {فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَدليل على أن من أفطر رمضان لعذر يقضي عدد أيام رمضان كاملاً كان أو ناقصًا، وعلى أنه يجوز أن يقضيَ أيامًا قصيرةً باردة عن أيام طويلة حارة وبالعكس.
6- أنه لا يجب التتابع في قضاء رمضان؛ لأنه قال: {فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}، ولم يشترط التتابع؛ أي: سواء كانت متتابعة أو متفرقة، وفي ذلك تيسير على الناس.
7- أن من لا يطيق الصوم لكبر، أو مرض لا يرجى برؤه، فعليه فدية إطعام مسكين لكل يوم.
8- في قوله تعالى: {وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ}: أن الصوم لمن أبيح له الفطر أفضل ما لم يشقَّ عليه.
9- من فضائلِ رمضان تخصيصُه بإنزال القرآن فيه؛ لهداية العباد وإخراجهم من الظلمات إلى النور.
10- أن المشقة تجلب التيسير؛ ولذا أباح الله الفطر للمريض والمسافر.
11- يُسْر الإسلام وسماحته، حيث إنه لم يكلف أحدًا ما لا يطيق.
12- مشروعية التكبير ليلةَ عيد الفطر: {وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ}، وأن وقته من إكمال العدة، وهو غروب شمس آخر يوم من رمضان.
13- وجوب الشكر لله على نعمه بالتوفيق للصيام والقيام وتلاوة القرآن الكريم، وذلك بطاعته وترك معصيته.
14- الحثُّ على الدعاء؛ لأن الله أمر به وتكفل بالإجابة.
15- قرب الله من داعيه بالإجابة، ومن عابديه بالإثابة.
16- وجوب الاستجابة لله بالإيمان به والانقياد لطاعته، وأن ذلك شرط في إجابة الدعاء.
17- إباحة الأكل والشرب والجماع في ليالي رمضان إلى طلوع الفجر، وتحريمها نهارًا.
18- أن وقت الصيام من طلوع الفجر الثاني إلى غروب الشمس.
19- مشروعية الاعتكاف في المساجد؛ وهو لزوم المسجد لطاعة الله - تعالى - والتفرغ فيه لعبادته، وأنه لا يصح إلا بمسجد تقام فيه الصلوات الخمس.
20- تحريم مباشرة النساء على المعتكف، وأن الجماع من مفسدات الاعتكاف.
21- وجوب التقيد بأوامر الله ونواهيه وامتثالها؛ {تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا}.
22- الحكمة من هذا البيان، وهو حصول التقوى بعد معرفة ما يتقى.
23- أن من أكل شاكًّا في طلوع الفجر صحَّ صومه؛ لأن الأصل بقاء الليل.
24- استحباب السحور، وأنه يستحب تأخيره.
25- أنه يجوز تأخير الغسل للجنب إلى طلوع الفجر.
26- الصوم مدرسة روحية لتهذيب النفس وتعويدها على الصبر[12].


ــــــــــــــــــــ
[1] تفسير ابن كثير، (1/ 313).
[2] تفسير آيات الأحكام للصابوني، (1/ 192).
[3] انظر تيسير اللطيف المنان في خلاصة تفسير القرآن، لابن سعدي، (ص: 56).
[4] تفسير ابن كثير، (1/214).
[5] تفسير آيات الأحكام للصابوني، (1/ 192).
[6] تفسير ابن كثير، (1/218).
[7] المصدر السابق، (ص: 219).
[8] تفسير ابن كثير، (1/218).
[9] الصحيح المسند من أسباب النزول، (ص: 9).
[10] الصحيح المسند من أسباب النزول، (ص: 9).
[11] تفسير آيات الأحكام للصابوني، (1/ 193).
[12] انظر الإكليل في استنباط التنزيل للسيوطي ص 24 – 28، وتيسير اللطيف المنان لابن سعدي ص56 – 58.

Sabtu, 07 Juni 2014

Bulan Sya'ban

Hari ini kita telah memasuki bulan Sya'ban. Bulan Sya'ban, yang terletak diantara Rajab dan Ramadhan ini seringkali dilalaikan oleh manusia. Hingga Rasulullah SAW bersabda:

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ

Ini adalah bulan yang dilalaikan oleh kebanyakan manusia, yaitu antara bulan Rajab dan Ramadhan. (HR. An-Nasa'i. "Hasan" menurut Al-Albani)

Banyak orang yang lalai, bahkan sebagian menjadikan Sya'ban sebagai bulan pelampiasan. "Mumpung belum Ramadhan, kita puaskan maksiat", "Mumpung belum Ramadhan. Nanti kalau sudah Ramadhan, puasa kita bisa tidak sah", dan kalimat-kalimat senada kadang-kadang muncul dalam masyarakat kita sebagai bentuk betapa tertipunya manusia di bulan Sya'ban.

Dari Rasulullah kita menjadi tahu bahwa ternyata bulan Sya'ban adalah bulan yang istimewa. Mengapa? Sebab bulan ini adalah bulan diangkatnya amal manusia kepada Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda dalam kelanjutan hadits di atas:

وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِي

Di bulan inilah amal perbuatan manusia diangkat kepada Rabb semesta alam. (HR. An-Nasa'i dan Ahmad. "Hasan" menurut Al-Albani)

Itulah keutama'an bulan Sya'ban yang pertama. Bulan diangkatnya amal manusia kepada Allah SWT.

Keutamaan kedua bulan Sya'ban adalah, pada pertengahannya. Inilah yang dikenal dengan istilah Nisfu Sya'ban. Rasulullah SAW bersabda mengenai keutamaan nishfu Sya'ban :

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

Sesungguhnya Allah memeriksa pada setiap malam nishfu Sya'ban. Lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya, kecuali yang berbuat syirik atau yang bertengkar dengan saudaranya. (HR Ibnu Majah, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Itulah dua keutamaan bulan Sya'ban, dan cukuplah hadits shahih bagi kita. Ada memang cukup populer di masyarakat tentang keutamaan Sya'ban sebagai bulan Rasulullah. Namun itu adalah hadits dha'if. Diantaranya adalah:

رجب شهر الله وشعبان شهري ورمضان شهر أمتي

Rajab adalah bulan Allah, Sya'ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku. (HR. Dailami)

Hadits itu adalah hadits dha'if. Demikian pula hadits-hadits sejenis tentang keutamaan bulan Sya'ban yang senada dengan itu.

Lalu apa amal di bulan Sya'ban yang dicontohkan Rasulullah SAW? Ini penting untuk kita ketahui dan amalkan. Sebab selain menghidupkan sunnah, mengikuti contoh dan teladan dari Rasulullah SAW adalah bukti cinta kita kepada Allah SWT.

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran : 31)

Amal di bulan Sya'ban yang pertama, yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah memperbanyak puasa sunnah.

حَدَّثَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Usamah bin Zaid berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, saya tidak melihat engkau berpuasa di satu bulan melebihi puasamu di bulan Sya'ban." Rasulullah menjawab, "Ini adalah bulan yang dilalaikan oleh kebanyakan manusia, yaitu antara bulan Rajab dan Ramadhan. Di bulan inilah amal perbuatan manusia diangkat kepada Rabb semesta alam. Karena itu aku ingin saat amalku diangkat kepada Allah, aku sedang berpuasa." (HR. An-Nasa'i. Al Albani berkata "hasan")

Begitulah. Rasulullah SAW banyak berpuasa di bulan Sya'ban sekaligus menginginkan agar ketika amalnya diangkat pada bulan Sya'ban itu, Rasulullah SAW dalam keadaan sedang berpuasa.

Ummul Mukminin Aisyah juga meriwayatkan kebiasaan Rasulullah SAW itu.

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

Rasulullah SAW tidak pernah berpuasa sunnah di satu bulan lebih banyak daripada bulan Sya'ban. Sungguh, beliau berpuasa penuh pada bulan Sya'ban. (HR. Bukhari)

Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan dalam Fathul Bari bahwa dalam ungkapan bahasa Arab, seseorang bisa mengatakan "berpuasa sebulan penuh" padahal yang dimaksud adalah "berpuasa pada sebagian besar hari di bulan itu".

Dari keterangan di atas, tahulah kita bahwa berpuasa sunnah di bulan Sya'ban menjadi begitu istimewa karena pada bulan itu amal diangkat, bulan itu dilalaikan oleh banyak orang, dan sekaligus puasa Sya'ban merupakan persiapan puasa Ramadhan.

Syaikh Muhyidin Mistu, Mushthafa Al-Bugha, dan ulama lainnya mengomentari menjelaskan dalamNuzhatul Muttaqin, "Berpuasa sunnah pada bulan Sya'ban memiliki keistimewaan tersendiri. Sekaligus untuk persiapan menghadapi puasa Ramadhan. Selain itu, di bulan Sya'ban lah semua amal perbuatan manusia dinaikkan kepada Allah"

Yang perlu diperhatikan adalah, tidak boleh mengkhususkan berpuasa pada satu atau dua hari terakhir Sya'ban kecuali puasa yang harus ditunaikan (karena nadzar, qadha' atau kafarat) atau puasa sunnah yang biasa dilakukan (puasa Dawud, Senin Kamis, dan lain-lain).

Rasulullah SAW bersabda:

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إِلاَّ أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ

Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali seseorang yang (memang seharusnya/biasanya) melakukan puasanya pada hari itu. Maka hendaklah ia berpuasa. (HR Bukhari)

Amal kedua pada bulan Sya'ban ialah melunasi hutang-hutang puasa, khususnya bagi wanita yang masih belum selesai mengqadha' puasa Ramadhan sebelumnya. Demikian pula bagi kita untuk mengingatkan keluarga kita agar memanfaatkan Sya'ban bagi yang belum selesai meng-qadha puasanya.

Aisyah berkata:

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ . قَالَ يَحْيَى الشُّغْلُ مِنَ النَّبِىِّ أَوْ بِالنَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم

Aku punya hutang puasa Ramadan, aku tak dapat mengqadhanya kecuali di bulan Sya'ban, karena sibuk melayani Nabi SAW. (HR Bukhari)

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Amal ketiga pada bulan Sya'ban ialah memperbanyak ibadah dan amal kebajikan secara umum. Entah itu menggiatkan shalat rawatib, qiyamullail, tilawah Al-Qur'an, bershadaqah, dan lain-lain. Mengingat bahwa bulan Sya'ban adalah bulan diangkatnya amal, maka alangkah baiknya ketika amal kita benar-benar bagus pada bulan itu. Dengan catatan tetap sesuai sunnah.

Adapun malam nishfu Sya'ban, sebagaimana hadits di atas ia memang memiliki keutamaan. Ibnu Taimiyah menegaskan "Adapun malam Nishfu Sya'ban, di dalamnya terdapat keutamaan."

Karena itu, ada sebagian ulama salaf dari kalangan tabi'in di negeri Syam, seperti Khalid bin Ma'dan dan Luqman bin Amir yang menghidupkan malam ini dengan berkumpul di masjid-masjid untuk melakukan ibadah tertentu pada malam Nishfu Sya'ban. Dari merekalah kaum muslimin mengambil kebiasaan itu. Imam Ishaq ibn Rahawayh menegaskannya dengan berkata, "Ini bukan bid'ah!"

Ulama Syam lain, di antaranya Al-Auza'i, tidak menyukai perbuatan berkumpul di masjid untuk shalat dan berdoa bersama pada Nishfu Sya'ban. Tetapi beliau dan ulama yang lain menyetujui keutamaan shalat, baca Al Quran dan lain-lain pada Nishfu Sya'ban jika dilakukan sendiri-sendiri. Pendapat ini yang dikuatkan Ibn Rajab Al-Hanbali dan Ibnu Taimiyah.

Adapun ulama Hijaz seperti Atha', Ibnu Abi Mulaikah, dan para pengikut Imam Malik menganggap hal terkait Nishfu Sya'ban sebagai bid'ah. Namun menurut mereka, qiyamullail sebagaimana disunnahkan pada malam lainnya dan puasa di siangnya sebab termasuk Ayyamul Bidh ialah baik.

Semoga perbedaan pendapat mengenai Nishfu Sya'ban ini dipahami dengan baik dan tidak menghalangi kita untuk melaksanakan segala amal ibadah utama pada bulan Sya'ban.