Jumat, 02 April 2010

Di mana Batas Kualitas Itu?

Jika Anda pergi ke pusat perbelanjaan, dengan mengendarai mobil, tentu Anda akan memarkir mobil Anda di tempat yang disediakan dengan membayar biaya parkir dan Anda akan diberi selembar karcis parkir. Tak sadarkah Anda bahwa Anda telah dihina. Mobil mewah Anda hanya dihargai selembar kertas yang kalau dijual tak akan laku.

Demikian juga ketika Anda lulus dari perguruan tinggi, jerih payah Anda selama 4 tahun akan dihargai 2 lembar kertas, yang diberi nama ijazah dan transkrip nilai. Padahal selama 4 tahun Anda menghabiskan berpuluh-puluh juta rupiah. Ini masih lumayan dibandingkan karcis tadi, kertas yang Anda sebut ijazah dan transkrip nilai tadi masih berguna buat bungkus permen atau kacang.

Lebih parah lagi, istri atau suami Anda dihargai dengan buku kecil 10 halaman, yang biasa disebut buku nikah. Padahal butuh perjuangan yang tidak ringan bahkan dengan biaya puluhan juta agar Anda dapat pengakuan itu adalah istri atau suami Anda. Seandainya Anda akan menjual buku itu, pasti tak akan bisa. Walaupun bisa, Anda jangan coba-coba menjualnya, Anda pasti dimarahi pasangan Anda :D, karena paling banter berharga 100 rupiah.

Tiga paragrap di atas, menggambarkan bagaimana tidak berharganya sesuatu yang kita anggap sangat bernilai tinggi ternyata sangat rendah dibanding dengan nilai-nilai yang lain. Banyak nilai-nilai di dunia ini yang dibuat manusia untuk mengukur kadar suatu benda/jasa. Ukuran atau kadar itu kalau mau kita perinci lagi sebenarnya hanya permainan dari angka-angka semu.

Mengejar kekayaan, sesungguhnya hanyalah mengejar angka-angka yang tertera dalam rekening bank kita. Belajar siang malam, hanyalah mengejar angka-angka berupa IP dalam KHS yang dibagikan tiap akhir semester. Jangan-jangan, sholat tiap hari yang kita lakukan hanya untuk mengejar angka 5 atau 17 saja. Atau mungkin juga, ketika kita berdzikir, hanyalah mengejar angka 33, 10, 100, 1000 atau berapapun yang kita inginkan. Sungguh ironis, semuanya berorientasi pada angka, dan mengabaikan esensi atau makna dari angka-angka tersebut.

Jika kita renungkan, kita seringkali terbuai oleh ukuran kuantitas, bukan pada kualitas. Kuantitas sering kita agung-agungkan dalam berbagai kesempatan. Kita sering membual tentang jumlah rumah yang kita miliki, besar dan luasnya rumah kita, jumlah mobil yang kita miliki, atau bahkan jumlah istri kita :D. Kita sering melupakan tentang makna kualitas. Seharusnya kualitaslah yang menjadi tujuan, bukan kuantitas. Kuantitas hanyalah ibarat bingkai lukisan, semahal apapun harganya sebuah bingkai --yang dilihat sesungguhnya adalah indahnya lukisan yang terbingkai tersebut.

Tulisan ini terpercik oleh karena perbincangan menarik ketika saya bertamu ke orangtua mahasiswa saat perjalanan menuju Bojonegoro dalam rangka mengikuti Pameran Pendidikan Perguruan Tinggi yang diadakan oleh Musyawarah Guru Pendamping Bimbingan Konseling (MGP-BK) Jawa Timur. Bapak dan ibu mahasiswa tersebut ternyata sudah mengantongi sertifikasi guru, keduanya PNS. Panjang lebar perbincangan tersebut, kemudian fokus pada kebutuhan hidup. Mereka berdua mengatakan bahwa dengan adanya tambahan berupa insentif sertifikasi guru, ternyata beban atau kebutuhan hidup keluarga masih tetap berjalan seperti biasa, artinya berapapun pendapatan yang dimiliki ternyata pengeluarannya juga semakin banyak.

Perbincangan berlanjut pada dampak sertifikasi, di sekolah --guru-guru pada berebut jam mengajar, mereka mengejar target beban mengajar 24 jam per minggu. Karena ada kekuatiran jika quota mengajar tidak tercapai maka sertifikasi akan dicabut dan tentunya insentif tidak didapat. Mereka tidak menginginkan hal itu terjadi. Padahal, jika dihitung jumlah jam mengajar seluruh guru yang bersertifikasi dengan jumlah jam seluruh pelajaran di kelas tidak sebanding, artinya jumlah jam yang harus menjadi target mengajar jauh lebih besar daripada jumlah jam di kelas-kelas. Sayapun bercerita pula, bahwa fenomena yang sama terjadi di tempat kerja saya. Target mengajar 12 SKS dari sebelumnya 6 SKS, tidak dapat dibagi merata ke semua dosen yang bersertifikasi dosen.

Begitulah kerumitan yang akan terjadi, jika peningkatan kuantitas tidak bersentuhan dengan peningkatan kualitas. Memang, pada tahap awal, tujuan ideal suatu pekerjaan adalah peningkatan kualitas, tetapi sering bergeser ke arah peningkatan kuantitas. Sertifikasi dosen/guru seharusnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Berapapun insentif yang akan diterima, jika melupakan tujuan pemberian insentif tersebut, maka kualitas yang diharapkan jauh panggang dari api.

***Pertanyaan sempat terlontar adalah mengapa UIN Maliki Malang masih mengikuti even-even Pameran Pendidikan di beberapa kota kabupaten, promosi di berbagai media massa. Apakah UIN Maliki Malang akan menambah jumlah mahasiswa baru. Saya jawab, tidak, sesungguhnya kita dalam misi (memang) mencari sebanyak-banyaknya pendaftar calon mahasiswa baru. Tujuannya, dengan jumlah pendaftar yang besar kita dapat melakukan filter atau seleksi yang baik, sehingga input mahasiswa UIN Maliki Malang menjadi berkualitas dan akhirnya kualitas lulusan lebih meningkat. Semoga.***

Wallahu'alam.

{Hotel Kudus, Bojonegoro, 3 April 2010, subuh yang gerah...kamar hotel yang pengap, AC tak berfungsi :D}

By: Syahiduzzaman
http://www.facebook.com/notes/syahiduz-zaman/di-mana-batas-kualitas-itu/382574505457